A.
PENGERTIAN
AKAD
Kata
akad berasal dari kaata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau
menghubungkan. Dalam hukum Indonesia,
akad sama dengan perjanjian.
Sebagai
suatu istilah hukum islam, ada beberapa definisi yang diberikan pada akad:
1. Akad
berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau pemindahan
kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang
disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.[1]
2. Menurut
pendapat ulama Syafi’iyah, malikiyah dan hambaliyah, yaitu: “segala sesuatu yang dikerjakan oleh
seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan,
atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual
beli, perwakilan, dan gadai.”[2]
3. Akad
merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari
pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.
Akad adalah
tindakan hukum dua pihak. Sedangkan tindakan hukum satu pihak, seperti janji
memberi hadiah, wasiat, atau wakaf, bukanlah akad, karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan
tindakan dua pihak, dan karenanya tidak memerlukan qabul. Konsepsi akad sebagai
tindakan dua pihak adalah pandangan ahli-ahli hukum islam modern. Pada zaman
pra modern terdapat perbedaan pendapat. Sebagian besar fukaha memang memisahkan
secara tegas kehendak sepihak dari akad, akan tetapi sebagian lain menjadikan
akad meliputi juga kehendak sepihak. [3]
B. SYARAT-SYARAT AKAD
Syarat dalam akad ada empat yaitu:
1.
Syarat terbentuknya
akad (syuruth al-In’iqad)
Diantaranya
yaitu:
a.
Tamyiz
b.
Berbilang pihak
(at-ta’adud)
c.
Persesuaian ijab
qabul (kesepakatan)
d.
Kesatuan majelis
akad
e.
Objek akad dapat
diserahkan
f.
Objek akad
tertentu atau dapat ditentukan
g.
Objek akad dapat
ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan dimiliki)
h.
Tujuan akad
tidak bertentangan dengan syara’
2.
Syarat sahnya
akad ( syuruth ash-shihhah)
Adalah segala sesuatu yang di syaratkan
syara’ untuk menjamin dapat keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut
rusak. Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama hanafiyah
mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu
kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemudharatan, dan
syarat-syarat jual beli rusak.
3.
Syarat berlakunya
akibat hukum (syuruth an-Nadz)
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan
dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga
ia bebas beraktifitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan
syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai
dengan ketetapan syara’, baik secar asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun
sebagai penggantian atau menjadi wakil seseorang dalam hal ini di syaratkan
antara lain :
·
Barang yang di
jadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika di jadikan , maka sangat
bergantung pada ijin pemiliknya yang asli.
·
Barang yang
dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan oranglain.
4.
Syarat mengikatnya
akad (syarthul-luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Daiantara syarat luzum
dalam jual beli adalah terhindarnya dari beberapa khiar jual beli, seperti
khiar syarat, khiar aib dan lain sebagainya. Jika luzum tampak, maka akad batal
atau dikembalikan. [4]
C. RUKUN AKAD
Ulama
hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut
ahli-ahli hukum islam kontemporer, unsur yang membentuk akad dan menjadi rukun
akad itu ada empat, yaitu:
1.
Para pihak yang
membuat akad (al-‘aqidan)
Terkadang
masing-masing pihak terdiri dari satu orang. Terkadang terdiri dari beberapa
orang.
2.
Pernyataan
kehendak para pihak/ijab qabul (Shighatul- ‘aqd)
Contoh
ijab adalah pernyataan seorang penjual,’’ saya
telah menjual barang hal ini kepadamu.’’ Atau ‘’ saya serahkan barang ini kepadamu .’’ contoh qobul, ‘’ saya
beli barang mu.’’ Atau ‘’saya terima
barang mu’’
3.
Dengan demikian
ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukan suatu
keridhaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau
keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu dalam
islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat di kategorikan
sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan
syariat islam.
4.
Objek akad (Ma’qud-
‘aqd)
Adalah
benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual
beli, dll.
5.
Tujuan akad
(maudhu’- al- ‘aqd)
Tujuan
atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok
akad.[5]
Rukun yang disebutkan di atas, harus
ada untuk terjadinya akad. Kita tidak mungkin membanyangkan terciptanya suatu
akad apabila tidak ada pihak yang membuat akad, atau tidak ada pernyataan
kehendak untuk berakad, atau tidak ada objek akad, atau tidak ada tujuannya.[6]
D. MACAM-MACAM AKAD
1.
Akad
Bernama
Yang diamksud dengan akad bernama
adalah akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan
ditentukan pula ketentuan-ketentuan
khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain,
Ahli hukum klasik menyebutkan
beberapa jenis akad, sehingga secara keseluruhan akad menurut perhitungan
az-zarqa’ mencapai 25 jenis akad bernama, yaitu :
1.
Jual beli
(al-ba’i)
2.
Sewa menyewa (
al-ijarah)
3.
Penanggungan (
al-kafalah)
4.
Pemindahan uang (al-hiwayah)
5.
Gadai( ar-rahm)
6.
Jual beli opsi(
bai’al-wafa)
7.
Penipuan
(al-ida’)
8.
Pinjam pakai (
al-i’arah)
9.
Hibah( al-hibah)
10.
Pembagian(al-qismah)’
11.
Persekutuan(asy-syirkah)
12.
Bagi hasil
(al-mudharabah)
13.
Penggarapan
tanah (al-muzara’ah)
14.
Pemeliharaan
tanaman ( al-musaqah)
15.
Pemberian kuasa
(al-wakalah)
16.
Perdamaian
(ash-shulh)
17.
Arbitrase(at-tahkim)
18.
Pelepasan hak
kewarisan (al-mukharajah)
19.
Pinjam mengganti
( al-qardh)
20.
Pemberian hak
pakai rumah ( al-umra)
21.
Penetapan ahli
waris ( al-muawalah)
22.
Pemutusan
perjanjian atas kesepakatan (al-iqadah)
23.
Perkawinan (
al-zawaj)
24.
Wasiat (
al-washiyyah)
25.
Pengangkatan
pengampu ( al-isha)
2. Akad Tak Bernama
Akad tak bernama ialah akad yang
tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fikih dibawah satu nama tertentu.
Dengan kata lain, akad tak bernama ialah akad yang tidak ditempuh oleh pembuat
hukum namanya yang khusus serta ada pengaturan tersendiri mengenainya.
Terhadapnya berlaku ketentuan-ketentuan umum akad. Akad jenis ini dibuat dan
ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai denga kebutuhan mereka . kebebasan
dalam membuat akad tertentu ( tidak bernama) ini termasuk ke dalam apa yang
disebut dengan kebebasan berakad. Akad tidak bernama ini timbul selaras dengan
kepentingan para dan akibat kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Contoh
akad tak bernama adalah perjanjian penerbitan,periklanan dans ebaginya .
3.
Akad
Pokok Dan Akad Asesoir
Dilihat dari kedudukannya, akad
dibedakan menjadi akad yang pokok ( al-‘aqd al-ashli) dan akad asesoir ( ‘al-aqd
at-tab’i).
Akad pokok adalah akad yang berdiri
sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal lain. Termasuk ke
dalam jenis ini adalah semua kad yang keberadaannya karena dirinya sendiri,
seperti akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya,
Akad asesoir adalah akad yang
keberadaannya tidak berdiri sendiri meliankan tergantung kepapa suatu hak yang
menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut. Termasuk dalam kategiri ini adalah penanggungan( al-kafalah) dan akad gadai
(ar-rahn). Kedua kad ini merupakan perjanjian untuk menjamin,karena itu
keduanya tidak ada apabila hak-hak yang dijamin tidak ada.
4.
Akad
Bertempo Dan Akad Tidak Bertempo
Dilihat dari unsur tempo di dalam
akad, akad dapat dibagi menjadi akad bertempo ( al’aqd az-zamani) dan akad
tidak bertempo ( al’aqd al-fauri).
Akad bertempo adalah akad yang
didalamnya ada unsur waktu merupakan unsur asai, dalam arti unsur waktu
merupakan bagian dari isi perjanjian. Termasuk dalam kategori ini, misalnya
sewa-menyewa, akad penitipan, akad pinjam pakai,akad pemberian kuasa, akad
berlangganan surat kabar dan lain sebagainya.
Akad tidak bertempo adalah akad
dimana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli
misalnya, terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad
tersebut.
Bahkan
apabila jual beli dilakukan dengan hutang, sesungguhnya unsur waktu tidak
merupakan esensial, dan bila telah tiba waktu pelaksanaan, maka pelaksaaan
tersebut bersifat seketika dan pada saat itu hapuslah akad kedua belah pihak.
5.
Akad
Konsesnual,Akad Formalistik Dan Akad Rill
Dilihat dari segi formalitasnya, akad dibedakan menjadi
akad konsensual (al’aqd ar-radha’i), akad formalistik (al-‘aqdasy-syakli) dan
akad rill (al-‘aqd al-‘aini). Dengan akad konsensual dimaksudkan jenis akad
yang terciptanya cukup berdasarkan pada kesepakatan para pihak tanpa diperlukan
formalitas-formalitas tertentu, seperti akad jual beli, sewa menyewa, utang
piutang dan seterusnya.
Akad formalistik adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat
formalitas yang ditentukan oleh pembuat hukum, dimana apabila syarat-syarat itu
tidak dipenuhi akad tidak sah. Contohnya adalah akad nikah dimana formalitas
yang disyaratkan adalah kehadiran dan kesaksian dua orang saksi.
Akad rill adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan
penyerahan tunai objek akad, dimana akad belum tersebut terjadi dan belum
menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan, kategorinya yaitu hibah,
pinjam pakai, penitipan, kredit (utang) dan akad gadai.
6.
Akad
Masyru’ Dan Akad Terlarang.
Dilihat dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh
syara’, akad dibedakan menjadi dua, yaitu akad masyru’ dan akad terlarang.
Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’
untuk dibuat dan tidak ada larangan untuk menutupnya, sperti akad-akad yang
sudah dikenal luas , seperti akad jual beli, sewa menyewa, mudharabah dan
sebagainya.
Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti akad jula beli janin,
akad donasi harta anak dibawah umur, akad yang bertentangan dengan ahlak islam
dan ketertiban umum seperti sewa-menyewa untuk melakukan kejahatan.
7.
Akad
Yang Sah Dan Tidak Sah
Akad sah adalah akad yang telah
memenuhi rukun dan syarat-syarat sebagaimana
ditentukan oleh syara’ . sedangkan akad tidak sah adalah akad yang tidak
memenuhi rukun dan syarat-syarat yang
ditentukan oleh syara’.
Perbedaan akad terlarang dengan akad
tidak sah yaitu penekannanya saja , dimana akad terlarang terdapat dalil-dalil
syariah yang melarang, akad tidak sah penenkanannaya adalah tidak terpenuhinya
rukun syarat akad.
8.
Akad
Mengikat Dan Akad Tidak Mengikat
Akad mengikat (al’aqd al-lazim)
adalah akad dimana apabila sleuruh rukun dan sayaratnya terpenuhi, maka akad
itu mengikat secara penuh dan masing-masing pihak tidak dapat membatalkannya
tanpa persetujuan pihak lain. Akad jenis
ini dibedakan menjadi dua, pertama contohnya akad mengikat dua pihak,
contohnya akad jual beli, sewa-menyewa
dan sebagainya. Kedua akad mengikat satu
pihak, contohnya akad kafalah (penangungan) dan gadai(ar-rahn).
Akad tidak mengikat adalah akad pada
masing-masing pihak dapat membatalkan
perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad tidak mengikat dibedakan menjadi
dua macam, pertama akad terbuka untuk di fasakh, seperti akad wakalah
(pemberian kuasa), syirkah (persekutuan) akad hibah, akad wadiah (penitipan),
adan akad ‘ariah( pinjam pakai). Dan akad yang tidak mengikat karena di dalamnya
terdapat khiyar bagi para pihak.
9.
Akad
Nafiz Dan Akad Mauquf
Akad nafiz adalah akad yang bebas
dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut dilaksanakan.
Dengan kata lain, akad nafiz adalah akad yang tercipta secara sah dan langsung
menimbulkan akibat hukum sejak saat terjadinya.
Akad mauquf adalah akad yang tidak
dapat secara langsung dilaksanakan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat
secara sah, malainkan masih tergantung (mauquf) kepada adanya ratifikasi (
ijazah) dari pihak berkepentingan.
10.
Akad
Tanggungan Akad Kepercayaan Dan Akad Bersifat Ganda.
Akad tanggungan (n’aqd adh-dhaman)
adalah akad yang mengalihkan tanggungan resiko atas kerusakan barang kepada
pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut
sehingga kerusakan barang yang diterimanya melalui akad tersebut berada dalam
tanggungannya sekalipun sebgai kedaaan memaksa.
Akad kepercayaan (‘aqd-al-amanh)
adalah akad dimana barang yang diallihkan melalui akad tersebut merupakan
amanah di tangan penerima barang tersebut, sehingga ia tidak berekewajiban
menangung resiko atas barang tersebut, keculai kalau ada unsur kesengajaan dan
melawan hukum . termasuk akad jenis isi adalah akad penitipan, peminaman,
perwakilan(pemberian kuasa).
Akad yang bersifat ganda adalah akad
yang di satu sisi merupakan akad tanggungan , tetapi disisi lain merupakan akad amanah (kepercayaan). Misalnya akad sewa
menyewa dimana barang yang disewakan
adalah amanah di tangan penyewa. Akan tetapi, di sisi lain, manfaat barang yang
disewakan merupakan tanggungannya sehingga apabila ia membiarkan barang yang
disewanya setelah diterima tanpa ia manfaatkan, maka manfaat barang tidak dinikmatinya adalah atas
tanggungannya, ia wajib membayar utang sewa kepada orang yang menyewakan.
11.
Akad
Muwadah, Akad Tabaru, Dan Akad Wuawadah Dan Tabaru Sekalaigus.
Akad muwadah (‘aqd al-mu’awadah) adalah akad dimana terdapat
prestasi yang timbal balik sehingga masing-masing pihak menerima sesuatu
sebagai imbalan prestasi yang diberikannya. Misalnya, jual beli, sewa menyewa,
pendamaian atas benda dan sebagainya.
Akad cuma-Cuma ( akad tabaru) (akad donasi) adalah akad
dimana prestasi hanya dari salah satu pihak , seperti akad hibah dan pinjam
pakai.
Akad atas beban dan Cuma-Cuma adalah akad yang pada mulanya merupakan akad
Cuma-Cuma, namun pada ahirnya menjadi akad atas beban. Misalnya, akad
peminjaman dimana pemberi pinjaman pada
mulanya membantu orang yang diberi pinjaman, dan akad penangguhan dimana
penangguhan dimana pada awalnya membantu orang yang di tanggung secara
Cuma-Cuma, akan tetapi pada saat pemberi pinjaman menagih kembali pinjamannya
maka akadnya menjadi akad atas beban.[7]
[1] Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
2010
[2] Prof.DR.H.Rachmat Syafe’i, MA. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia Bandung. 2006
[3] Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA. Hukum Perjanjian Syariah. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta. 2007
[4] Prof.DR.H.Rachmat Syafe’i, MA. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia Bandung. 2006.
Hal 65
[5] Prof. Dr. H. Abdul Rahman
Ghazaly, M.A. dkk. Fiqh Muamalat.
Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2010
[6]
Prof. Dr. Syamsul Anwar,
MA. Hukum Perjanjian Syariah. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007. Hal. 96
[7]
Prof. Dr. Syamsul Anwar,
MA. Hukum Perjanjian Syariah. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007. Hal.73-83
minjem coretan nya .... hehee
BalasHapusjoin us husainrezpect.blogspot.com
iya, silahkan.
Hapus