Senin, 19 November 2012

makalah istihsan


   1.      Pengertian Istihsan
Dari segi bahasa istihsan berarti menganggap sesuatu baik, yang terambil dari kata al-husnu (baik). Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.[1]
Itihsan menurut ulama ushul fiqh, adalah sebagai berikut:
   a.Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa jz I: 137, “Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”
    b.Menurut Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan”.[2]
   c. Menurut Wahbah Az-Zuhaili, terdiri dari 2 definisi, yaitu: 1) Memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu. 2) Hukum pengecualian dari kaidah –kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.

    2.      Macam-Macam Istihsan
Istihsan yang pertama menurut Wahbah Az-Zhuhaili, dikenal dengan Istihsan Qiyasi, sedangkan yang kedua disebut istihsan Istisnaiy.
Istihsan qiyasi terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali atau qiyas khafi. Dari segi kejelasan ‘illat-nya maka qiyas jali lebih pantas didahulukan daripada qiyas khafi. Namun menurut madzhab Hanafi, bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar kemaslahatannya dibanding qiyas jali, maka qiyas jali itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil dari qiyas khafi. Praktik seperti itulah yang disebut dengan istilah istihsan qiyasi. Contohnya, menurut kesimpulan qiyas jali, hak pengairan yang berada diatas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap ikut diwakafkan kecualijika ditegaskan dalam ikrar wakaf, disamakan (di-qiyas-kan) dengan praktik jual beli. Namun berdasarkan istihsan yang berorientasi kepada kemaslahatan, hak untuk mengairi itu termasuk ke dalam tanah wakaf meskipun tidak ditegaskan pada waktu berikrar wakaf, karena di-qiyas-kan kepada sewa menyewa dengan persamaan ‘illat sama-sama untuk diambil manfaatnya.
Sedangkan istihsan Istisnaiy tebagi pada beberapa macam, yaitu:
1)      Istihsan bin-Nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas (Al-Qur’an dan Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasusu serupa. Contohnya, makan dalam keadaan lupa di siang ramadhan merusak puasa seseorang karena telah rusak rukun dasarnya yaitu imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa) di siang hari. Namu, hadis rasulullah saw, menegaskan bahwa makan dalam keadaan lupa di siang hari Ramadhan tidaklah membatalkan puasa:
"Dari Abu Hurairoh, dari Nabi Sw, bersabda:”Barang siapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah menyelesaikan puasanya. Hanya Allah saja yang memberinya makan dan minum”. (HR Bukhari dan Muslim)
2)      Istihsan berlandaskan ijma’. Misalmnya, pesanan untuk membuat lemari. Menurut kaidah umum praktis seperti itu tidak diperbolehkan, karena pada waktu pengadaan akad pesanan, barang yang akan dijual belikan tersebut belum ada. Memperjual belikan benda yang belum ada waktu melakukan akad dilarang dalam hadis rasulullah (HR Abu Dawud). Namun hal itu diperbilehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorang pun ulama yang membantah keberlakuannya dalam masyarakat sehuingga dianggap sudah disepakati (ijma).
3)      Istihsan yang berlandaskan ‘urf  (adat kebiasaan). Misalnya boleh mewakafkan benda bergerak seperti buku-buku dan perkakas alat memasak. Menurut ketentuan umum perwakafan, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, wakaf hanya dibolehkan pada hartya benda yang bersifat kekal dan berupa benda tidak bergerak seperti tanah. Dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya adat kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkan praktik wakaf tersebut.
4)      Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah. Misalnya, mengharuskan ganti rugi atas diri seorang penyewa rukah jika peralatan rumah itu ada yang rusak ditangannya kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang tak dapat dihindari. Menurut kaidah umum, seorang penyewa rumah tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak selama menghuni rumah itu kecuali jika kerusakan itu disebabkan kelalaianya. Tetapi, demi menjaga keselamatan harta tuan rumah dan menipisnya rasa tanggung jawab kebanyakan para penyewa, maka kebanyakan ahli Fiqh berfatwa untuk membebankan ganti rugi atas pihak tersebut.[3] 
  
3.      Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai istihsan
a.       Madzhab Hanafi, Maliki, dan Madzhab Hmabali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain:
1)      Firman Allah: Q.S Az-Zumar: 1
"Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal."
Ayat tersebut, menurut mereka, memuji orang-orang mengikuti perkataan (pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesusatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
2)      Sabda Rasulullah
“ Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, adalah baik juga di sisi Allah.” (HR. Ahmad dalam kitab sunnah, bukan dalam musnadnya).
Hadits ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam karena merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Dapat dijadikan landasan penetapan hukum.
b.      Imam Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i, pendiri Madzhab Syafi’i, tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum. Menurutnya, barabg siapa menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat-buat syari’at baru dengan hawa nafsu. Alasannya antara lain:
a)      Ayat 38 surat al_An’am
"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan."
b)      Ayat 44 Surat Al-Nahl:
"Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,"
c)      Ayat 49 surat Al-Maidah:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafii membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil-dalil syara. Sedangkan istihsan yang dipakai oleh para penganutnya bukan berdasarkan hawa nafsu, tetapi mentarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumnya.[4]
Dengan menggunakan istihsan, kita akan lebih leluasa bergerak dengan tidak meninggalkan semangat hukum Islam.[5]
4.      Kesimpulan

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, terdiri dari 2 definisi, yaitu: 1) Memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu. 2) Hukum pengecualian dari kaidah –kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan yang pertama menurut Wahbah Az-Zhuhaili, dikenal dengan Istihsan Qiyasi, sedangkan yang kedua disebut istihsan Istisnaiy.
Istihsan qiyasi terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali atau qiyas khafi. Dari segi kejelasan ‘illat-nya maka qiyas jali lebih pantas didahulukan daripada qiyas khafi. Namun menurut madzhab Hanafi, bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar kemaslahatannya dibanding qiyas jali, maka qiyas jali itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil dari qiyas khafi.
Istihsan Istisnaiy terbagi menjadi 4 macam, yaitu: 1) Istihsan bin-nas, 2) Istihsan berlandaskan ijma’. 3) Istihsan yang berlandaskan ‘urf, 4) Istihsan berlandaskan maslahah mursalah.
Imam-imam yang mengakui istihsan yaitu, Maliki, Hambali dan Hanafi, sedangkan Imam Syafi’i tidak menjadikan istihsan sebagai landasan hukum. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafii membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil-dalil syara. Sedangkan istihsan yang dipakai oleh para penganutnya bukan berdasarkan hawa nafsu, tetapi mentarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumnya



[1] Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung. CV. Pustaka Setia. 2010
[2]  Ibid.
[3] Satria Effendi. Ushul Fiqh. Jakarta. Pranada Media Group. 2009
[4] Ibid.
[5] A. Djazuli. Ilmu Fiqh. Bandung. Prenada Media Group. 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar