1. Pengertian Istihsan
Dari segi bahasa istihsan berarti
menganggap sesuatu baik, yang terambil dari kata al-husnu (baik). Secara
harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung
sesuatu dan menganggapnya kebaikan.[1]
Itihsan menurut ulama ushul fiqh, adalah
sebagai berikut:
a.Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya
al-Mustashfa jz I: 137, “Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh
mujtahid menurut akalnya”
b.Menurut Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi,
“Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan
memandang hukum lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan
keadilan”.[2]
c. Menurut Wahbah Az-Zuhaili, terdiri dari
2 definisi, yaitu: 1) Memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena
ada petunjuk untuk itu. 2) Hukum pengecualian dari kaidah –kaidah yang berlaku
umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
2. Macam-Macam Istihsan
Istihsan yang pertama
menurut Wahbah Az-Zhuhaili, dikenal dengan Istihsan Qiyasi, sedangkan yang
kedua disebut istihsan Istisnaiy.
Istihsan qiyasi terjadi
pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk
qiyas, yaitu qiyas jali atau qiyas khafi. Dari segi kejelasan ‘illat-nya maka
qiyas jali lebih pantas didahulukan daripada qiyas khafi. Namun menurut madzhab
Hanafi, bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar
kemaslahatannya dibanding qiyas jali, maka qiyas jali itu boleh ditinggalkan
dan yang dipakai adalah hasil dari qiyas khafi. Praktik seperti itulah yang
disebut dengan istilah istihsan qiyasi.
Contohnya, menurut kesimpulan qiyas jali, hak pengairan yang berada diatas
tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap ikut diwakafkan kecualijika
ditegaskan dalam ikrar wakaf, disamakan (di-qiyas-kan) dengan praktik jual
beli. Namun berdasarkan istihsan yang berorientasi kepada kemaslahatan, hak
untuk mengairi itu termasuk ke dalam tanah wakaf meskipun tidak ditegaskan pada
waktu berikrar wakaf, karena di-qiyas-kan kepada sewa menyewa dengan persamaan
‘illat sama-sama untuk diambil manfaatnya.
Sedangkan istihsan
Istisnaiy tebagi pada beberapa macam, yaitu:
1) Istihsan
bin-Nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas (Al-Qur’an dan Sunnah) dari
kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasusu serupa. Contohnya,
makan dalam keadaan lupa di siang ramadhan merusak puasa seseorang karena telah
rusak rukun dasarnya yaitu imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa) di
siang hari. Namu, hadis rasulullah saw, menegaskan bahwa makan dalam keadaan
lupa di siang hari Ramadhan tidaklah membatalkan puasa:
"Dari Abu Hurairoh, dari Nabi Sw,
bersabda:”Barang siapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan
minum, hendaklah menyelesaikan puasanya. Hanya Allah saja yang memberinya makan
dan minum”. (HR Bukhari dan Muslim)
2) Istihsan
berlandaskan ijma’. Misalmnya, pesanan untuk membuat lemari. Menurut kaidah
umum praktis seperti itu tidak diperbolehkan, karena pada waktu pengadaan akad
pesanan, barang yang akan dijual belikan tersebut belum ada. Memperjual belikan
benda yang belum ada waktu melakukan akad dilarang dalam hadis rasulullah (HR
Abu Dawud). Namun hal itu diperbilehkan sebagai hukum pengecualian, karena
tidak seorang pun ulama yang membantah keberlakuannya dalam masyarakat
sehuingga dianggap sudah disepakati (ijma).
3) Istihsan
yang berlandaskan ‘urf (adat kebiasaan).
Misalnya boleh mewakafkan benda bergerak seperti buku-buku dan perkakas alat
memasak. Menurut ketentuan umum perwakafan, seperti dikemukakan Abdul Karim
Zaidan, wakaf hanya dibolehkan pada hartya benda yang bersifat kekal dan berupa
benda tidak bergerak seperti tanah. Dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak
itu hanya adat kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkan praktik wakaf
tersebut.
4) Istihsan
yang didasarkan atas maslahah mursalah. Misalnya, mengharuskan ganti rugi atas
diri seorang penyewa rukah jika peralatan rumah itu ada yang rusak ditangannya
kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang tak dapat dihindari.
Menurut kaidah umum, seorang penyewa rumah tidak dikenakan ganti rugi jika ada
yang rusak selama menghuni rumah itu kecuali jika kerusakan itu disebabkan
kelalaianya. Tetapi, demi menjaga keselamatan harta tuan rumah dan menipisnya
rasa tanggung jawab kebanyakan para penyewa, maka kebanyakan ahli Fiqh berfatwa
untuk membebankan ganti rugi atas pihak tersebut.[3]
a. Madzhab
Hanafi, Maliki, dan Madzhab Hmabali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan
landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain:
1) Firman
Allah: Q.S Az-Zumar: 1
"Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka
Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal."
Ayat
tersebut, menurut mereka, memuji orang-orang mengikuti perkataan (pendapat)
yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesusatu yang
dianggap baik, dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
2) Sabda
Rasulullah
“
Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, adalah baik juga di sisi Allah.”
(HR. Ahmad dalam kitab sunnah, bukan dalam musnadnya).
Hadits
ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap
baik oleh orang-orang islam karena merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah.
Dapat dijadikan landasan penetapan hukum.
b. Imam
Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i, pendiri Madzhab Syafi’i, tidak menerima istihsan
sebagai landasan hukum. Menurutnya, barabg siapa menetapkan hukum berlandaskan
istihsan sama dengan membuat-buat syari’at baru dengan hawa nafsu. Alasannya
antara lain:
a) Ayat
38 surat al_An’am
"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di
bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan."
b)
Ayat
44 Surat Al-Nahl:
"Keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,"
c)
Ayat
49 surat Al-Maidah:
"Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah
diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah
diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."
Menurut
Wahbah Az-Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan
dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’i membantah istihsan yang didasarkan
atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil-dalil syara’. Sedangkan istihsan yang dipakai oleh
para penganutnya bukan berdasarkan hawa nafsu, tetapi mentarjih (menganggap
kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat
menjangkau tujuan pembentukan hukumnya.[4]
Dengan
menggunakan istihsan, kita akan lebih leluasa bergerak dengan tidak meninggalkan
semangat hukum Islam.[5]
4.
Kesimpulan
Menurut Wahbah
Az-Zuhaili, terdiri dari 2 definisi, yaitu: 1) Memakai qiyas khafi dan
meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu. 2) Hukum pengecualian
dari kaidah –kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan yang pertama
menurut Wahbah Az-Zhuhaili, dikenal dengan Istihsan Qiyasi, sedangkan yang
kedua disebut istihsan Istisnaiy.
Istihsan qiyasi terjadi
pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk
qiyas, yaitu qiyas jali atau qiyas khafi. Dari segi kejelasan ‘illat-nya maka
qiyas jali lebih pantas didahulukan daripada qiyas khafi. Namun menurut madzhab
Hanafi, bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar
kemaslahatannya dibanding qiyas jali, maka qiyas jali itu boleh ditinggalkan
dan yang dipakai adalah hasil dari qiyas khafi.
Istihsan Istisnaiy
terbagi menjadi 4 macam, yaitu: 1) Istihsan bin-nas, 2) Istihsan berlandaskan
ijma’. 3) Istihsan yang berlandaskan ‘urf, 4) Istihsan berlandaskan maslahah
mursalah.
Imam-imam yang mengakui
istihsan yaitu, Maliki, Hambali dan Hanafi, sedangkan Imam Syafi’i tidak
menjadikan istihsan sebagai landasan hukum.
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan.
Imam Syafi’i
membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil-dalil
syara’.
Sedangkan istihsan yang dipakai oleh para penganutnya bukan berdasarkan hawa
nafsu, tetapi mentarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang
bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan
hukumnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar